Sabtu, 19 Januari 2008

Taqnin Di Iraq

A. Pendahuluan

Kuffah yang merupakan salah satu kota yang berada di Iraq merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah dan di kota itu pulalah madrasah ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu Hanifah berkembang. Oleh karena itu tidaklah heran apabila pada awalnya hukum Islam yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak madzhab Hanafi. Namun pada masa berikutnya di Iraq berkembang pula Syi’ah Imamiyah. Aliran Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar luas pula di Iraq. Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya, sehingga pada akhirnya dua madzhab ini memiliki pengaruh yang sama-sama kuat dalam perkembangan hukum di Iraq. Seolah-olah hukum yang berjalan di Iraq terbentang pada kedua madzhab itu secara bersamaan-yaitu hukum Fiqih Sunni dan Syi’i.

Dalam perjlanan taqnin di Iraq dari mulai belum terkodifikasi hingga perundnag-undangan yang berlaku pada masa kini, masalah perimbangan antara keuda madzhab ini selalu menjadi isu sentral – tak hanya dalam isi materi undang-undang juga merambah kedalam politik, ekonomi, budaya dan berbagai sendi kehidupan lainnya. Pada akhirnya kompromi menjadi media yang menjadikan legalisasi hukum terwujud di Iraq. Jadilah Iraq memiliki system hukum yang merangkum fiqih Sunni dan Syi’I dalam peradilan Syari’ah. System peraturan perundang-undangannya mencakup undang-undang yang mengatur konstitusi, lembaga legislative, lembaga Judicial tertinggi, otoritas fatwa lembaga judicial, serta ketentuan-ketentuan lainnya[1]. Meskipun system hukum Iraq mengadopsi kedua madzhab diatas, namun agama yang diakui sebagai agama resmi negara adalah Islam[2] (tanpa menyebutkan aliran).

Proses taqnin di Iraq pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara muslim lainnya, dimana proses beralihnya fikih kepada qanun senantiasa diterbitkan melalui badan legislative negara, baik yang sifatnya tetap seperti DPR (di Indonesia) maupun komisi-komisi khusus yang senagaj dibentuk oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. Begitu pula dalam proses legislasinya, qanun di Iraq tidak terlepas dari masuknya hukum lain terutama kode sipil Perancis dan kode sipil Turki. Agar dapat lebih difahami, proses taqnin di Iraq dapat dilihat dari tahun-tahun dimana suatu peraturan perundang-undangan diterbitkan.

B. Hukum Perdata di Iraq Sebelum Tahun 1959

Iraq yang merupakan tempat kelahiran madzhab fikih Hanafi, telah berada dalam bagian kekuasaan kerajaan Turki Utsmani sejak abad ke enam belas masehi. Selama rua ratus tahun Iraq di perintah oleh rezim Turki Utsmani. Kemudian sejka tahun 1850 undang-undang perdata, pidana serta hukum dagang yang dibuat oleh kerajaan Turki Utsmani – termasuk pula Kode Sipil tahun 1876 – yang juga diberlakukan secara paksa di Iraq[3]. Kode Sipil Turki Utsmani tersebut banyak di adopsi dari Kode Sipil Eropa terutama Perancis. Dalam pelaksanaannya ternyata hukum tersebut tidak dapat diimplementaskan hingga Turki Utsmani kehilangan kekuasaannya di Iraq oleh penjajah Inggris.

Pada tahun 1917 Kesultanan Turki Utsmani membuat Hukum Keluarga yang diperuntukan agar dapat diterapkan di negara bagian kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani, akan tetapi hukum tersebut tidak dapat berkembang melaus hingga ke Iraq. Hingga tahun 1959 – bahkan meski setelah Iraq dikuasai oleh Inggris. Muslim pengikut Hanafi maupun JA’fari di Iraq lebih mengikuti hukum perdata yang diatur dalam madzhab mereka yang belum dikodifikasi. Hanya ada beberapa bagian ketentuan mengenai hukum keluarga yang secara terpaksa oleh pemerintah Iraq diambil dari uda keputusan Kesultanan yang diterbitkan oleh Sultan Turki pada tahun 1915[4].

Selama masa kedaulatan di Iraq, Inggris pernah memberi warga Iraq sebuah Undang-undang Perdata Bagdad 1918 dan Undang-undang Formil Kriminal Bagdad 1919 – keduanya dibuat setelah Inggris dapat membuat dewan legislative Iraq yang juga terikat dengan dewan legislative Inggris[5]. Pemerintah Inggris tidak mengadopsi undang-undang yang ada sebagaimana tidak pula mengadopsi hukum local disebabkan fakta bahwa pendudukan Iraq hampir berimbang jumlahnya antara Sunni dan Syi’i. Demikian pual dengan kedua hukum diatas, dimana tidak mengadopsi hukum perdata warisan kerajaan Utsmani bagi warga Iraq dikarenakan dua alas an. Pertama ; dalam semua posisi kolonialnya, Inggris memang senantiasa mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengintervensi agama berdasarkan hukum. Kedua ; populasi muslim Sunni dan Syi’I di Iraq hampir seimbang, padahal Undang-undang buatan Utsmani secara eksklusif didasarkan atas doktrin Sunni. Dengan demikian selama masa penjajahan Inggris hanya hukum-hukum yang berdasarkan Syari’ah yang belum dikodifikasikan yang diberlakukan bagi warga Iraq.

Pada tahun 1921 pergerakan pan Arabisme memberikan “angin segar” bagi Iraq. Sebuah kerjaan didirikan di Iraq dibawah Raja Faisal pada tahun 1921 ; yang pada muaranya menghantarkan Iraq memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1932.

Sekitar tahun 1940-an, Pemerintah Iraq memutuskan untuk mengkodifikasikan hukum keluarga yang materinya dapat mereduksi kedua madzhab fiqih secara seimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di Mesir. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kondisi social serta politik di Iraq dan di Mesir secara keseluruhan tidaklah sama. Bagi badan legislative Mesir mungkin mudah saja untuk mengakomodasi fiqh madzhab Syafi’I, Maliki dan Hanafi dalam sebuah legislasi unifikasi hukum yang dapat diberlakukan bagi semua warg aMEsir, sebab ketiga madzhab ini tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini sangatlah berbeda dengan Iraq dimana Sunni dan Syi’I memiliki jumlah yang sama, sedangkan keduanya memiliki perbedaan dasar-dasar serta prinsip hukum yang signifikan. Sehingga, dengan kuatnya pengaruh keuda kekuatan social tersebut, menjadi sangat sulit untuk mempersatukan keduanya dalam satu peraturan yang dapat disepakati bersama.

Melalui proses yang panjang akhirnya pada tahun 1947 terkodifikasikanlah suatu peraturan perundang-undangan tentang Hukum Keluarga yang komprehensif, yang dibuat oleh suatu badan yang ditugaskan oleh Komisi Judisial di Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan draft yang disetujui secara keseluruhan, dimana ia mencakup peraturan pernikahan, waris, dan wasiat[6]. Bila dilihat pad abab yang pertama dan kedua pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan antara fiqih Hanafi dan Ja’fari, terkecuali dalam hukum rawis ; terpaksa secara keseluruhan bagi warga Sunni mengikuti madzhab Hanafi dan bagi waga Syi’ah mengikuti madzhab Ja’fari.

Pada tahun 1951 Abdul al Razzaq Sanhuri, yang dikenal sebagai ahli hukum Arab, membuat rancangan undnag-undang sipil baru untuk Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut cukup komprehensif dan luas. Undang-undang tersebut dibangun atas tradisi Arab, bukan hukum perdata. Hukum Islam hanya dijadikan sebagai salah satu hukum sebagai sumber hukumnya. Sehingga dalam Undang-undang Hukum Keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.

C. Taqnin Sejak Tahun 1959

Draft Undang-undang hukum perdata yang diterbitkan oleh lembaga legislative di Iraq pada tahun 1947, demi ketahanan Negara tidak memiliki sanksi yang konkrit hingga terjadninya revolusi 1958. pada tahun tersebut terjadi sebuah kudeta militer di Iraq hingga akhirnya Iraq berubah menjadi negara Republik. Dan sebagai kelanjutannya pada bulan Februari 1959 sebuah Komisi Judisial yang lain dibuat oleh Pemerintah untuk membuat hukum perdata yang pada prinsipnya dapat diambil dari seluruh aturan Syari’ah yang secara umum disetujui, diakui dan dapat diterapkan pada semua warga muslim Iraq sertda dapat pula diterima bersama dengan menyelesaikan berbagai persoalan jurispudensi pada peradilan di Iraq.

Setelah dipersiapkan oleh komisi tersebut, dewan legislative Iraq akhirnya draft tersebut kemudian di sahkan menjadi sebuah peraturan perundang-undangan – Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah – yang ditetapkan pada Desember 1959. Peraturan perundang-undangan ini secara seimbang lebih selektif dari PP sebelumnya dan pada prinsipnya dapat diberlakukan secara paksa bagi seluruh warga muslim Iraq termasuk mereka yang tidak mau mengikuti pada awalnya. Prinsip-prinsip hukum keluarga di bawah undang-undang tersebut diatur berdasarkan keberagaman madzhab fqih, antara Sunni dan Syi’I serta diakomodasi pula hukum keluarga dari Mesir, Jordan dan Hukum Legal Siria.

Sebagai dasar hukum dari keberlakuan peraturan ini pemerintah menerbitkan suatu maklumat yang menyebutkan bahwa “Ketentuan yang paling penting dari hasil Komisi diadopsi dari berbagai pasal kode sipil dan dari legislasi berbagai negara yang mana diformulasikan dari hukum Islam yang tidak kontradiktif satu sama lainnya”.

Berdasarkan pasal 2, bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Iraq terkecuali yang diatur secara khususnya oleh Undang-undang seperti umat Kristen dan Yahudi. Dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa bagi ketentuan yang tidak terdapat dalam undang-undang, maka hakim harus dapat memutuskan suatu kemaslahatan berdasarkan hukum Syari’ah Islam. Pasal 1 dari kode sipil juga menyatakan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi undang-undang.

Ketentuan baru mengenai waris di adopsi dari kode sipil Iraq (qanun madani) tahun 1951. pada pasal 1187 hingga 1199 dari kode sipil mengatakan bahwa hukum waris yang diterapkan adalah berdasarkan hukum Turki. Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah menyatakan bahwa kode sipil akan mengganti kedudukan hukum Islam untuk semua perkara waris. Padahal kode sipil tersebut secara keseluruhan berbeda dengan prinsip-prinsip hukum waris yang terdapat dalam Islam serta bertentangan dalam beberapa aspek. Sehingga penggantian ini menuai protes hampir di seluruh wilayah Iraq. Protes ini dilancarkan oleh ualma dan berbagai element yang sejenis.

Undang-undang Hukum Sipil Iraq 1951 yang diuabh menjadi Undang-undang Hukum Perdata tahun 1959 didalamnya terdiri dar :

(i) Pasal 19-24 mengatur pertentangan hukum

(ii) Pasal 1108-1112 mengatur tentang interpretasi persamaan

(iii) Pasal 1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah

Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 memang tidak semuanya selaras dengan selurhh hukum keluarga yang ada. Adalah sebuah fakta bahwa amandemen yang ada telah dipaksakan kepada seluruh warga Iraq. Tidak ada ketentuan dalam undang-undang itu yang diakomodir secara proportif dari Sunni dan Syi’i. Hampir semua ketentuan berdasarkan pilihan selektif antara dua prinsip fiqh Hanafi dan JA’fari.

Dengan memperhatikan bahwa tidak ada materi yang tercakup di dalam ketentuan ini, pasal 1 hukum Iraq menunjuk pengadilan untuk menerapkan semua prinsip syari’ah yang dinyatakan di dalamnya. Pada masa selanjutnya lembaga peradilanlah yang memiliki otoritas untuk menerapkan hukum ini, dengan didirikannya lembaga tertinggi judicial di Iraq.

Sekitar empat tahun kemudian, terjadi pergantian pemerintah, dimana kekuatan baru berkuasa di Iraq. Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata tahun 1959. hukum perdata yang baru tersebut mencabut pasal 74 Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris Islam. Dalam amandemennya hukum waris diatur dalam 9 pasal diambil dari madzhab Syi’ah dua belas imam.

Berikut ini salah satu perubahan undnag-undang hukum keluarga hingga amandemen tahun 1963 yang berhubungan dengan poligami ;

Hukum yang mengenai poligami yang diterapkan di Iraq terdapat dalam pasal 3 Hukum perdata tahun 1959, menggambarkan pernghalang pernikahan baik yang bersifat permanen maupun yang temporal. Ditrangkan bahwa menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa seizing Qadhi, merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga pernikahan kedua tanpa izin pengadilan dinyatakan fasid. Dengan berdasarkan dengan prinsip umum bahwa pernikahan terlarang akibat penghalang temporal adalah tidak sah.

Dalam ketentuan undang-undang tahun 1963 pasal 3 diubah menjadi pasal 13 dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin bila memnuhi tiga syarat ; pemohon mampu menafkahi keuda istrinya secara baik secara bermsaan. Kedua ; pemohon mampu memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga ; tidak ada kekhawatiran dari isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil. Penetapan ini dibuat oleh pengadilan. Pengadilan tidak akan memberikan izin, apabila dalam suatu kondisi tertentu, terdapat kemungkinan suami tidak akan adil, meskipun dua persyaratan lainnya sudah terpenuhi. Seseorang yang melakukan poligami tanpa seizing pengadilan atau yang tetap melaksanakannya meskipun pengadilan menolaknya, maka akan dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhi sanksi hukum.

D. Amandemen Selanjutnya 1978-1983

Di tahun 1977 ditetapkan hukum yang berdasarkan kebijakan politik baru dari partai sosialis kebangkitan Arab. Dengan kebijakan tersebut undang-udang hukum perdata 1959 yang sudah diamandemen sebelumnya diamandemen lagi sejak tahun 1978 hingga tahun 1983. hingga tahun 1983 undnag-undang hukum perdata yang diubah yang penting adalah :

(i) Peraturan perizinan pengadilan bagi suami yang hendak berpoligami (kecuali dengan janda)

(ii) Aturan hukuman bagi kawin paksa

(iii) Hukum bagi perkawinan di bawah tangan

(iv) Peraturan kembali talak

(v) Pengaturan kembali formulasi pengucapan talak berdasarkan syari’ah serta pengaturan registrasi ke pengadilannya.

(vi) Keputusan perceraian bagi pasangan suami istri

(vii) Penambahan hak asuh anak bagi ibu yang dicerai hingga anak 15 tahun

(viii) Pengenalan persamaan posisi cucu dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat wajibah

(ix) Persamaan laki-laki dan perempuan dalam bagian waris.

(x) Penerapan bagi semua muslim prinsip dasar waris Syi’ah Imam dua belas

(xi) Pengaturan waris bagi anak perempuan.

E. Penutup

Proses Taqnin di Iraq dilakukan melalui suatu komisi yang ditunjuk oleh dewan legislative sebagai kepanjangan tangannya. Setiap proses taqnin di Iraq tidak dapat terlepas dari pada kebijakan politik serta kondisi social. Pertentangan kaum Sunni dan Syi’I menjadi isu sentral dalam setiap usaha pengkodifikasian hukum di Iraq. Hukum yang berimbang yang dapat mengakomodasi kedua madzhab tersebutlah yang pada akhirnya dapat diterima di Iraq. Pada tahun 1959 Iraq mulai memiliki Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang mengalami amandemen berkali-kali dalam rangka upaya penyempurnaan materi hukum. Dalam proses taqnin di Iraq selain hukum syari’at Islam yang menjadi sumber utama, juga diakomodasi berbagai hukum dari negara muslim,s erta dari Eropa terutama kode sipil Perancis.

DAFTAR PUSTAKA

Andersoon I.N.D, A Draft Code of Personal Status for Iraq. Bulletin of School of Oriental and African Studies.

Ariif, Tajul and Bisri, Cik Hasan, 2002. Muslim Family Law in Asian and African Countries. Bandung; Research Center IAIN.

Mahmood, Tahir, tt. Familiy Law Reform in The Muslim World. Bo,bay: N.M. Tripathy PVT. LTD.

_____________, 1987. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law an Religion


[1] Tajul Arifin dan Cik Hasan Bisri, Muslim Family Law ini Asian and African Countries (Bandung: Research Center IAIN, 2002), hlm 102.

[2] The Constitution of Iraq, 1958, article 4, sebagaimana dikutip Tahir mAhmood, Familiy Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. LTD, tt), hlm 136.

[3] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law an Religion, 1987), hlm 136.

[4] Mahmood, Familiy Law, hlm 136.

[5] Indian Penal Code 1860 ; (old) Criminal Procedure Code 1898 sebagaimana di kutip Mahmood, Personal Law, hlm 49.

[6] Andersoon I.N.D, a Draft Code of Personal Status for Iraq (Bulletin of School of Oriental and African Studies, 1953), XV/1.

1 komentar:

ridwan mengatakan...

oke deeh @@@@!!