Jumat, 18 Januari 2008

Kaidah Hukum, Kaidah Qiyas dan Kaidah Istishlah

BAB I

KAIDAH BAHASA HUKUM

A. Pengertian Kaidah Bahasa Hukum

Kaidah bahasa hukum, bila kita artikan kedalam bahasa Arab secara harfiyah ia terdiri dari tiga kata, yaitu kaidah, bahasa dan hukum. Untuk dapat lebih memahami kita dapat menurunkannya dalam masing-masing pengertian katanya.

Dalam bahasan Arab kaidah merupakan arti dari kata qa’idah yang merupakan mufrad (bentuk tunggal) dari qawa’id (kaidah-kaidah). Kata qa’idah sendiri telah diserap menjadi bahasa Indonesia yaitu kaidah[1]. Secara etimologi arti kaidah menurut al Asfahani dan Al Zaidy sebagaimana dikutip oleh Rahmat Syafei[2] adalah al asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).

Secara terminologi terdapat banyak definisi kaidah dari para ahli ushul, diantaranya :

القواعد ة : حكم كلي ينطبق على جميع جز ئياته

Artinya :

“Hukum yang bersifat kulli (general law) yang meliputi semua bagian-bagiannya”[3].

ا الامر الكلي الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكا مها منها

Artinya :

“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut”.[4]

Sedangkan Hasbi ash Shidiqi menukil pengertian kaidah yang dikemukakan oleh Prof. Mustafa as Zarqa dalam bukunya al Fiqh Fi Tsaubhil Jadid”, yaitu :

القاعدة : حكم اغلبي ينطبق عللى معظم جزئياته

Artinya :

“Hukum yang aghlaby (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagaian besar bagian-bagiannya”[5].

Dari beberapa definisi diatas dan definisi dari berbagai literatur lain, tidak semuanya sama, karena sebagaimana menurut Rahmat Syafei[6] bila diteliti secara seksama terdapat perbedaan yang esensi diantara definisi-definisi yang ada. Misalkan yang menyatakan bahwa qaidah adalah “Sesuatu yang masih umum yang mencakup sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamnya bisa mengandung arti lain”. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandung arti bahwa qaidah fikih itu mengandung berbagai macam pengecualian yang menjadi lawannya. Padahal qaidah fikih itu lebih umum dari pada kulliah (sesuatu yang mencakup bagian-bagian di bawahnya) dan dari aktsariyyah (kebanyakannya).

Sebagian definisi menyebutkan bahwa kaidah itu berlaku bagi semua cabangnya, padahal seharusnya berlaku pada sebagian besar cabang. Oleh karena itu definisi yang lebih baik sebagaimana pemikiran Rahmat Syafei adalah yang disebutkan oleh Mustafa al Zarqa karena pada dasarnya keberlakuan kaidah, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah itu bersifat sebagian besar bukan keseluruhan, dengan alasan sebagai berikut :

1. Kaidah merupakan hasil ijtihad ulama, dan masing-masing ulama mempunyai kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga hasil konklusinya berbeda juga.

2. Perumusan kaidah berasal dari dalil, sedang dalil itu sendiri ada yang bersifat qath’I dan ada yang bersifat dhanni, para mujtahid belum sepakat sepenuhnya mana dalil yang bersifat qath’I dan mana yang dhanni.

3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian, sehingga dalam kondisi pengecualian itu tidak mengaitkan dengan keberlakuan kaidah.

Adapun bahasa dalam bahasa Arab ini berarti lughah. Sedangkan hukum dalam bahasa Arab merupakan mufrad dari kata ahkâm. Dengan demikian bila kita pindahkan kedalam bahasa Arab, kaidah bahasa hukum adalah qawâid al lughah al ahkâm.

Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah[7]. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama ushul berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatiakn unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlubnya maupun tarkibnya.. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan[8]. Oleh karena itu kaidah lughawiyah banyak berkaitan dengan amar, nahyu, ‘am, khash, muthlaq, mujmal, musfashal dan segala kaidah yang berkaitan dengan kabahasaan yang dipetik dari kaidah Arabiyah.

Untuk dapat mengetahui makna yang terdapat dalam lafadz atau ushlub itu sendiri maka dapat didasarkan kepada :

1. Pengertian orang banyak yang mutawatir dan secara terbiasa pengertian itu dipakai dalam percakapan sehari-hari. Seperti kata al ma’ adalah air.

2. Berdasarkan pengertian para ahli bahasa. Menurut imam as Syafi’I disebut ilmu khashah. Dan pengertian lafal atau ushlub ini hanya dimengerti oleh orang tertentu saja (Ahbarul ahad) yang tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini hanya didapat dari istilah-istilah ilmiah.

3. Berdasarkan hasil pemikiran akal atau nalar. Salah satunya dengan menggunakan metode qiyas. Seperti kata al khamr yang tidak diartikan sebagai perasan anggur saja, akan tetapi setiap minuman yang memabukan.

Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat dalam menggali hukum yang terdapat dalam syara’ (al Qur-an dan Hadits). Nash-nash adalah berbahasa Arab dan oleh karenanya itu kaidah-kaidah bahasa menjadi patokan dalam memperoleh hukum daripada nash tersebut. Dengan menguasai kaidah ushuliyyah maka akan dapat mempermudah faqih untuk melakukan ijtihad dan menetapkan suatu hukum daripada yang terdapat dalam nash secara jelas maupun yang tersembunyi. Oleh karena itu kaidah ushuliyyah disebut juga kaidah istinbathiyyah. Sebagai contoh, ketika terdapat perintah Rasul untuk berziarah setelah adanya larangan, maka kita dapat menyimpulkan perintah itu sebagai suatu kebolehan. Kita dapat berpijak pada kaidah :

الامر بعد النهي يفيد الاباحة

“Adanya perintah setelah adanya larangan menunjukan suatu kebolehan”[9].

B. Metode Perolehan dan Penerapan Kaidah Ushuliyah

Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi sesuai dengan perbedaan metode yang dilakukan ulama ushul fiqh dalam memperoleh suatu kaidah tersebut, yaitu metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh.

a. Metode Mutakallimin

Metode mutakallimin adalah metode yang dilakukan oleh ulama ushul fikih aliran mutakallimin yang tokohnya adalah al Syafi’I, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal dan para pengikut madzhabnya. Ciri utamanya ia lebih mengorientasikan kepada kajian hukum terhadap ayat- ayat al Qur’an dan Sunnah, sebagai implikasi dari dasar pemikiran bahwa syar’I itu hanyalah Allah dan rasul-Nya[10]. Metode dilakukan dengan cara pola berfikir deduktif. Mereka menggali suatu makna secara rasional dari suatu nash atau dalil berdasarkan nalar dan nash yang berpetunjuk. Kemudian dari makna dalil itu ditarik suatu kaidah yang logis dan umum didasarkan atas pemikiran nalar yang rasional. Oleh karena itu dalam melahirkan kaidah ushuliyyah proposisi-proposisi dalam logika (mantiq) dipandang sebagai bagian dasar dari ilmu ushul fiqh seperti ; ilmu, penalaran (nadhar) dan dilalah lafadz atas makna, definisi suatu istilah dan demonstrasi (burhan). Selain itu karena kajian kaidah ushul difokuskan kepada nash, maka propesi-propesi yang berhubungan dengan dalil-dalil syara seperti kehujahan khabar ahad dan hadits mursal menjadi bagian penting dalam metode mutakalilimin

Untuk dapat lebih memahaminya dapat saya contohkan sebagai berikut :

Dalam al Qur-an terdapat nash yang lafadznya bersighat amar (perintah) seperti perintah melaksanakan sholat. Maka timbulah suatu pertanyaan ; “Apa hukumnya melaksanakan sholat ?”[11]. Apakah harus/ mesti dilaksanakan (wajib), atau dianjurkan (sunnah) ?.

Untuk menjawab hal itu maka ulama harus dapat menentukan hukum yang terdapat dalam perintah sholat yang lafadznya bersighat amar. Metode deduktif itu secara sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut :

Pernyataan I : shalat diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia

Pernyataan II : Allah memandang shalat sebagai suatu yang sangat penting karena ia sebagai tiang agama, salah satu dari lima bangunan

Islam, sebagai amal yang pertama dihisab, dan lain sebagainya[12].

Pernyataan III : Seorang hamba atau abdi akan hina jika tidak menunaikan

perintah-Nya, dan hal itu dipandang sebagai suatu kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah :

فليحذرالذين يخالفون عن امره ان تصيبهم فتنة او يصيبهم عذاب اليم

Artinya :
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan dan ditimpa azab yang pedih”. (Q.S. al

Nûr : 63).

Ini pula diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa

bilamana meninggalkan sholat akan disiksa[13].

Pernyataan IV : Sesuatu perbuatan yang akan disiksa apabila ditinggalkan dan mendapat pahala bila dikerjakan adalah hal yang wajib dalam pemikiran fiqh atau hukum taklif.

Pernyataan V : Maka dengan demikian dapat diartikan bahwa shalat hukumnya

wajib.

Pernyatan VI : Adanya sholat karena adanya ayat yang bersigat amar. Selama

suatu lafadz dapat dipahami secara hakikat, maka ia tidak perlu dipalingkan kepada makna majazi[14]. Nah, bila hukum shalat itu wajib dan adanya shalat disebabkan adanya nash dengan lafadz yang bersighat amar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asal daripada perintah (amar) adalah menunjukan suatu kewajiban.

Dari penurunan pernyataan-pernyataan diatas dapat dibuat suatu kaidah :

ا الاثل فى الامر للوجوب

Artinya :

“Pada dasarnya amar itu menunjukan (arti) wajib”.

Setelah terlahir kaidah diatas maka ulama menetapkannya sebagai suatu ijma’. Kaidah ini dapat berlaku secara umum bagi kebanyakan furu’, akan tetapi sebagai mana kita tahu bahwa salah satu kelemahan dalam metode deduktif ini tidak mempertimbangkan furu’, maka terkadang tidak dalam berlaku pada sebagian furu’. Oleh karena itu dalam metode mutakallimin, berbagai kaidah bahasa hukum yang lahir selanjutnya dijadikan suatu asas bagi upaya melahirkan berbagai kaidah-kaidah lain yang merupakan turunan dari kadidah tersebut agar dapat digunakan dalam furu’ yang beraneka ragam. Turunan itu dapat sangat banyak tergantung bagaimana seorang mujtahid dapat mengeksplorasi nash dan kekuatan akalnya. Saya contohkan turunan kaidah diatas sebagai berikut :

1. Kaidah tentang amar dan kesegeraan melakukan perintah :

Ketika telah didapat bahwa amar menunjukan kepada suatu kewajiban, maka timbul pertanyaan selanjutnya :

Apakah dalam melaksanakan kewajiban itu (misalnya sholat lima waktu) mesti dilakukan sesegera mungkin atau bisa dilakukan selama masih ada waktu?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita dapat membuat pernyataan-pernyataan sebagai berikut :

I : Tidak ada perintah sholat yang menyatakan bahwa ketika adzan harus

langsung dilaksanakan. Nash yang ada adalah :

1. Harus segera dilaksanakan sebelum waktunya habis[15]

2. Amal yang paling baik sholat pada awal waktu

Dengan kata lain tidak ada qarinah yang harus melaksanakan sholat pada awal waktu. Amar disini menghendaki kepada perbuatan yang segera dilaksanakan, tetapi boleh dikerjakan menurut situasi dan kondisi. Berbeda kalau dalam nash terdapat perintah “sekarang” tentu ia akan menjadi bersegera[16].

II : Sholat yang dilaksanakan memiliki batas waktu tertentu, seperti waktu dzuhur dari tergelincir matahari sampai waktu ashar atau bayangan tubuh lebih panjang dari benda.

III : Demikian pelaksanaan sholat tidak didasarkan atas kesegeraannya tapi kepada kesempurnaan dalam melaksanakan perintahnya[17].

IV : Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa selama tidak ada qarinah yang menunjukan kesegeraaan, asal dari perintah pada dasarnya tidak menunjukan kepada kesegeraan.

Lahirlah kaidah ushuliyah :

الاصل فى الامر لا يقتضى الفوز

“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki kesegeraan”.

2. Kaidah tentang amar setelah adanya larangan

Salah satu nash yang dijadikan contoh adalah perintah ziarah setelah larangan melakukannya.

كنت نهيتكم عن زيارة القبورفزورها

“Aku melarang kalian untuk ziarah kubur, tetapi kini berziarahlah”(H.R. Muslim).

Pernyataan I : Ketika ada suatu perintah yang sebelumnya ada larangan, maka larangan berkedudukan sebagai qarinah bagi perintah.

Pernyataan II : Suatu perintah yang memiliki qarinah tidak dapat ditunjukan kepada suatu kewajiban.

Pernyataan III : Perimbangan antara wajib dan haram adalah mubah

Pernyataan IV : maka hukum dari perintah yang didahului dengan larangan adalah mubah.

b. Metode Ahnaf

Metode Ahnaf (Hanafiyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dengan ajalan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya[18].

Metode hanafiyah ditempuh melalui system penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang dari kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imamnya. Sedangkan yang memberi motivasi dan dorongan kepada mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah tersebut adalah beberapa hukum yang telah diistinbathkan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya, bukan hanya dalil yang bersifat teoritis.

Perhatian mereka semata-mata tertuju kepada ushul fiqh para imam yang diambil dari masalah furu’ dalam melakukan istinbath[19]. Oleh karena itu aliran Ahnaf lebih banyak menghasilkan kaidah fiqhiyyah daripada kaidah ushuliyyah.

Salah satu contoh kaidah ushuliyyah yang dianut oleh Hanafiyah adalah kaidah mengenai amar dan perintah meninggalkan kebalikannya yang diperoleh secara istqra (induktif) sebagai berikut :

Pernyataan A I : Manusia diperintahkan untuk beriman,

Pernyataan AII : Manusia dilarang untuk kufur,

Pernyataan AIII : Iman merupakan kebalikan dari kufur

Pernyataan B I : Jujur itu diperintahkan

Pernyataan B II : Berbohong itu dilarang

Pernyataan B III : Jujur adalah lawan bohong

Konklusi dari pernyataan-pernytaaan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap adanya perintah untuk melakukan sesuatu berarti melarang atas kebalikannya. Maka lahirlah suatu kaidah :

ان الامر بالشئ نهي عن ضده

“Sesungguhnya perintah pada sesuatu berarti melarang atas kebalikannya”.

Muchlis Utsman[20] menjelaskan perbedaan karakteristik antara metode mutakallimin dan Ahnaf sebagai berikut :

Metode mutakallimin

Metode Hanafiyah

a. Metodenya hanya dari cara istinbathnya sendiri

b.Kaidahnya dari pemahaman makna lughawi dan ushlub-ushlubnya

c. Disesuaikan dengan hukum fikir atau logika

d.Terdapat relevansi dengan kaidah ilmu kalam

e. Membagi kejelasan dilalah dengan nash dan dhohir

f. Membagi pemahaman dilalah dengan mujmal dan mutasyabbih

g. Membagi petunjuk hukum dengan manthuq dan mafhum

h. Mengambil makna mafhum mukhalafah sebagai hujjah

i. Dilalah ‘am (umum) yang telah disebutkan satuannya dinyatakan sebagai dalil dzanni

j. Pemahaman makn muthlaq diikutkan pada makna muqayyad, misalnya mewajibkan zakat bagi budak non muslim.

k.Membuang hadits mursal sebagai hujjah bila hal itu diperlukan

l. Menerima hadits ahad sebagai hujjah jika sanadnya shahih[21]

a. Kaidah yang disusun hanya untuk memperkuat madzhabnya.

b. Kaidah yang disusun bukan merupakan penentu terhadap hukun far’iyah (cabang)

Kaidah tersusun tidak memperhatikan pemahaman makna lughawi melainkan meriwayatkan yang dinukil dari pemasalahan far’iyah dari imam madzhabnya.

c. Kaidah ushuliyyah hanya diambil dari pendapat imamnya.

d. Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu kalam.

e. Membagi kejelasan dilalah Dzahir, Nash, Mufassar dan Muhkam.

f. Membagi pemahaman makna dilalah dengan khafi, musykil, mujmal dan mutsyabih.

g. Membagi petunjuk hukum dilalah ibarah, dilalah isyarah, dilalah nash dan dilalah iqtidha.

h. Tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai nash syar’iyah.

i. Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuan-satuannya dianggap qath’i dilalah.

j. Tidak membawa makna muthlaq pada muqayyad.

k. Menggunakan hadits mursal bila diperlukan

l. Menolak hadits Ahad. [22]

c. Metode Campuran

Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut[23].

Cara perolehan kaidah bahasa hukum melalui metode ini digabungkan antara pola deduktif dan induktif, sehingga menghasilkan suatu susunan kaidah-kaidah yang harmonis sejalan dan menjadi utuh. Metode konvergensi adalah metode yang digunakan oleh ulama-ulama kontemporer, terutama dalam mengistinbathkan hukum dimana mereka menggunakan kaidah ushul yang telah ada serta mengambil suatu kesimpulan umum (induksi) dari berbagai furu’-furu’ yang ada. Salah satu contohnya adalah kaidah yang dicetuskan oleh imam al Khathabiy[24] yaitu :

الامر الثبتالمعلوم لا يترك بالامر المظلوم

“Perintah yang ditetapkan dengan sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan dengan perintah yang dzanni”.

Kaidah ini secara deduksi diperoleh dengan mempertimbangkan kaidah bahwa pada lafadz yang dhahir atau jelas tidak perlu mencari makna lain selama ia masih dapat diartikan sesuai dengan teksnya.

Adapun secara induksi diperoleh dari :

Pernyataan I : keyakinanan tidak dapat dikalahkan oleh suatu keraguan

Pernyataan II : Lafadz dhahir lebih kuat daripada lafadz dhanni

Dari dua kaidah diatas menunjukan bahwa sesuatu yang jelas itu lebih kuat daripada yang samar. Maka kesimpulan dari dua kaidah diatas adalah bahwa perintah yang didasari atas sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan dengan perintah yang masih dhanni.

C. Macam-macam Kaidah Bahasa Hukum

Dari kebanyakan literatur baik yang berbahasa Indonesia maupun asing, pembagian macam-macam kaidah bahasa (lughawiyah) didasarkan atas kajian-kajian lafadz. Sehingga macam-macam kaidah lughawiyyah adalah sebagai berikut :

1. Yang berkaitan dengan amar

2. Yang berkaitan dengan nahyi

3. Yang berkaitan dengan ‘Am

4. Yang berkaitan dengan khas

5. Yang berkaitan dengan Muthlaq dan Muqayyad

6. Yang berkaitan dengan Muradif dan musytarak

7. Yang berkaitan dengan manthuq dan mafhum

8. Yang berkaitan dengan Dhahir dan muawwal

9. Yang berkaitan dengan nasikh mansukh.

D. Objek Kaidah-kaidah Lughawiyah

Penggunaan kaidah-kaidah lughawiyah atau kaidah ushuliyyah hanya dipakai sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya. Misalnya penetapan hukum amar, nahi dan sebagainya serta penerimaan atau penggalian dalil-dalil dhanniyah seperti qiyas, istishhab, istihsan dan sebagainya.[25]

Oleh karena kaidah-kaidah lughawiyah berkutat kepada penggalian makna hukum yang terdapat dalam nash melalui pendekatan bahasa, maka objeknya menjadi luas. Ia tidak hanya berkutat kepada kaidah lima yang pokok (qawâid al asasiyyah), akan tetapi seluruh hukum yang teristikhrajkan dari nash-nash yang ada. Berbeda dengan kaidah fiqh, ia merupakan perluasan dan turunan dari panca kaidah yang pokok.

E. Urgensi Qaidah Lughawiyah

Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu). Menguasai kaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk menguasai hukum Allah dalam setiap persitiwa hukum yang dihadapinya[26].

Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang pada lazimnya mencakup metode istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi (kebahasaan) maupun tarkib, (susunan) dan uslub-uslubnya (gaya bahasanya). Karena itu semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan pijakan utama tempat kerangka pemikiran mujtahid dalam melakukan proses ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan hukum yang terdapat dalam nash. ia bagaikan suatu pola dalam pakaian sehingga dengan pola suatu pakaian dapat dijahit. Bilamana ijtihad merupakan suatu metode yang menjadi dinamisator hukum Islam, maka kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi dinamika hukum Islam.

BAB III

KAIDAH QIYAS

A. Pengertian Kaidah Qiyas

Agak sulit untuk mencari pengertian kaidah qiyas secara khusus dalam literatur apabila kita berpijak kepada pengertian kaidah sebagaimana telah dijelaskan diawal. Sebab pada dasarnya kaidah itu berupa qadhiyyah (ketentuan), atau hukmun (hukum) atau peraturan yang bersifat umum dan berlaku untuk sebagian besar daripada juznya. Berbeda dengan metode (mabda, manhaj) yang merupakan suatu cara dalam melakukan ujtihad. Dalam pemikiran saya, kita mesti membedakan antara kaidah (hukmun, qadhiyyatun) dengan metode (madba’ manhaj).

Untuk mengetahuinya kita dapat melihat hubungan antara kaidah dengan metoda sebagai berikut :

Pada satu sisi kaidah merupakan suatu hasil induksi dari produksi-produksi yang dihasilkan oleh metode. Misalkan, ketika kita mencari hukum wisky yang secara dhahir kata wisky tidak ada dalam nash, maka kita berijtihad dengan menggunakan salah satu metodenya yaitu qiyas. Dengan qiyas kita dapat mencari dan menetapkan bahwa :

Ashal : arak (muniman keras)

Furu’ : wisky (minuman keras)

Illat : memabukan

Hukum ashal : haram

Dengan qiyas kita dapat menetapkan bahwa hukum wisky itu haram.

Dengan qiyas juga kita dapat menetapkannya kepada minuman-minuman lain yang memabukan seperti brandy, topi miring, dll. Sehingga kita dapat menetapkan illat dari qiyas tersebut sebagai suatu kaidah :

كل مشكر حرام

“Setiap yang memabukan adalah haram”.

Pada sisi lain kaidah juga dapat digunakan sebagai ketetapan pokok yang dijadikan patokan bagi berjalananya suatu metode ijtihad yang digunakan. Maksud saya adalah begini, misalkan ketika kita hendak melakukan suatu ijtihad mengenai kedudukan halal atau haram suatu minuman yang bukan minuman keras akan tetapi karena suatu hal (seperti dicampur dengan obat atau diminum terlalu banyak) dapat menjadi memabukan. Kita hendak berijtihad dengan menggunakan metode qiyas.

Pertama mencari rukun qiyasnya sendiri, yaitu :

Ushul : arak

Furu : instisari

illat : memabukan

hukum ashal : Haram

Intisari pada dasarnya adalah minuman yang halal dan tidak memabukan. Ia adalah obat yang digunakan sebagai campuran pada jamu. Dan pada dasarnya ia berbeda sekali dengan arak dari segi dzat dan unsur-unsurnya. Oleh karena itu mengqiyaskan instisari secara langsung dengan arak melalui persamaan illat tidak menjadi kuat, karena penggunaan intisari secara benar tidak memabukan justru sebaliknya sebagai media penyehatan tubuh. Oleh karena itu kita dapat menetapkan keharaman intisari melalui qiyas yang dijalankan diatas kaidah yang berlaku -sebut saja kaidah itu- yaitu Kullu musykirin harâmun. Sehingga meskipun intisari secara dzat itu tidak haram, kita dapat mengharamkannya bilamana ia dipergunakan bukan untuk obat, akan tetapi untuk mabuk. Keharaman ini adalah bukan harâm lidzatihi akan tetapi harâm lighairihi.

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa kaidah qiyas berbeda dengan qiyas itu sendiri.

Pengertian Qiyas dapat kita peroleh dalam berbagai literatur yang secara garis besar adalah mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak dinashkan dalam al Qur’an dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum[27].

Berdasarkan analisis hubungan kaidah dan mabda diatas maka kaidah qiyas adalah kaidah-kaidah yang diperoleh dari hasil metode qiyas dan atau digunakan dalam metode qiyas. Kaidah-kaidah itu berkaitan dengan rukun-rukun qiyas dan unsur dari kaidah tersebut adalah rukun-rukun qiyas itu sendiri.

B. Identifikasi Kaidah Qiyas

Berdasarkan pengertian yang kita dapati dari analisis diatas, maka dapat kita turunkan bahwa kaidah qiyas akan memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Kaidah qiyas dihasilkan dari metode qiyas

Contoh : sebagaimana pada bagian pertama bab ini.

2. Kaidah qiyas digunakan sebagai sandaran oleh metode qiyas dalam melakukan istinbath al ahkâm

Contoh kaidah mengenai amar dan mediumnya :

الامر بالشئ امر بوسائله وللوسائل حكم المقاصد

“Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas mediumnya dan bagi medium hukumnya sama dengan hal yang dituju”[28]

atau kaidah :

مالايتم الوجب الابه قهو واجب

“Perintah wajib tidak akan sempurna kecuali dengannya (perbuatan lain yang mubah) maka hal itu wajib pula”.[29]

3. Kaidah qiyas dapat berisi illat hukum

كل مشكر حرام

“Setiap yang memabukan itu hukumnya haram”.

Lafadz musykirin pada kaidah diatas merupakan illat hukum diharamkannya suatu minuman. Oleh karena itu dengan melihat adanya suatu pernyataan illat kita dapat mengidentifikasikan bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah qiyas.

Kaidah qiyas berisi persamaan dua kasus dimana yang satu merupakan ushul dan yang lain furu’. Contoh :

الانفاق بامر القاضى كالانفاق بامر المالك

“Membelanjakan dengan perintah qadli sama kedudukannya dengan membelanjakan atas perintah pemiliknya”.[30]

Pada kaidah diatas terdapat ashl yaitu pemiliki barang, sedangkan furu’ nya qadli. Seorang qadli atau hakim mempunyai kedudukan sama dengan kedudukan pemilik harta. Qadli bertugas menegakan keadilan dan kebenaran menurut segala yang disyariatkan hukum Islam, maka segala keputusannya wajib di jalankan. Sedang pemilik harta berhak sepenuhnya membelanjakan hartanya asal pembelanjaan itu tidak merugikan yang lain. Misalnya. Anggota serikat menggunakan harta serikat sebelum dibagi berdasarkan perintah qadli. Keduanya memiliki kekuasaan yang sama, karena pemilik harta itu juga masih terkait pada pemilik yang lain.

4. Terdapat lafadz kullu

Contoh :

كل ماجازبيعه جازهيبته

“Setiap barang yang boleh djual maka boleh pula dihibahkan”.

Lafadz “kullun” dapat menunjukan suatu kaidah sebagai turunan atau digunakan untuk metode qiyas. Sebab dengan kata kaidah yang diawali lafadz kullun pada umumnya mengandung pernyataan mempersamakan dua kasus.

5. Terdapat hukum ashl dan atau bersama-sama dengan hukum furu’

Contoh :

ما حرم استعماله حرم اتخاذه

“Apa saja yang penggunaannya diharamkan berarti diharamkan pula memperolehnya”. [31]

Pada kaidah diatas terdapat hukum ashl dan furu’ secara barsamaan yaitu haram. Ashl nya adalah lafadz isti’mâl sedangkan furu’ nya lafadz ittikhâdzu.

6. Terdapat huruf “kaf” li alsyibhi.

التعيين بالعرف كالتعيين بالنص

“Menentukan dengan dasar urf seperti menentukan dengan nash”.[32]

Huruf kaf li al syibhi menunjukan adanya pernyataan yang mempersamakan dua kasus yang memiliki illat yang sama. Pada kaidah diatas dipersamakan antara urf dan nash dengan adanya kaf li a lsyibhi.

C. Metode Perolehan Kaidah Qiyas

Pola deduksi, induksi dan konvergensi masih tetap menjadi metode dalam menghasilkan suatu kaidah kaidah qiyas sebagaimana menghasilkan kaidah bahasa hukum pada bab I. yang perlu kita ketahui adalah terdapat perbedaan subjek sangat jelas yang dijadikan sebagai bahan dasar dari kaidah.

Pada perolehan kaidah qiyas secara deduksi, kaidah dapat digali dari hasil penalaran terhadap suatu nash atau suatu kaidah.

Contoh II (kaidah yang digali dari kaidah melalui penalaran secara deduktif) :

الامر بالشئ امر بوسائله

“Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas mediumnya”.

Saya contohkan sesuatu itu adalah membunuh dan mediumnya adalah membeli pisau dapur.

Muqadimah sughra : membunuh haram

Muqadimah kubra : membeli pisau untuk membunuh haram

Nathijah : hukum membunuh dan membeli pisau sebagai alat

membunuh adalah haram

Lahirlah kaidah :

وللوسائل حكم المقاصد

“Bagi medium hukumnya sama dengan hal yang dituju”.[33]

Metode perolehan kaidah qiyas secara induktif dapat digali dari nash, kaidah maupun dari kasus-kasus yang terjadi.

Contoh I (kaidah qiyas secara induktif dari nash) :

Nash I :

يايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطن فاجتنبواه لعلكم تقلحون

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan”[34]

Pada perintah larangan arak itu terdapat illat “memabukan”.

Nash II :

ولا تقربوا الزنى انه كان فاحشة وساء سبيلا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina adalah keji dan seburuk-buruknya jalan”[35].

Pada larangan itu terdapat illat yaitu perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan.

Maka penalaran induktif diperoleh sebagai berikut :

I : Pada keharaman hukum arak terdapat illat

II : Pada keharaman hukum zina terdapat illat

Kesimpulan : pada setiap hukum terdapat illat.

Maka lahirlah kaidah :

الحكم يدور مع علته وجدا وعد ما

“Hukum itu mengikuti (berkisar) pada ada dan tiadanya illat”. [36]

Contoh II. (perolehan kaidah secara induktif yang digali dari kasus) :

Pernyataan I : Barang yang boleh dijual adalah barang yang merupakan hak

milik yang mutlak

Pernyataan II : Barang yang boleh dihibahkan adalah barang yang merupakan

hak milik yang mutlak

Kesimpulan : Barang yang bisa dijual maka bisa dihibahkan

Maka lahirlah suatu kaidah yang berbunyi :

كل ماجازبيعه جازهيبته

“Setiap barang yang boleh dijual maka boleh dihibahkan”.

D. Pola penerapan kaidah qiyas :

Kaidah qiyas sangat kental dengan kerangka berfikir imam al Syafi’I yang memang merupakan pencetus dan pengembang metode qiyas. Kaidah qiyas yang kental dengan penalaran deduktif berakar pada penerapannya secara deduktif pula. Dari kaidah yang ada diturunkan kepada kasus yang terjadi berdasarkan atas illat yang digali.

Contohnya adalah sebagai berikut :

Kaidah qiyas berbunyi :

Muqadimah sughra : Kullu musykirin harâmun (Setiap yang memabukan itu

hukumnya haram)

Muqadimah kubra : wisky musykirin (wisky itu memabukan)

Nathijah : yunthiju anna wisky harâmun. (disimpulkan maka wisky

itu haram)

BAB III

KAIDAH ISTISHLAH

A. Pengertian Kaidah Istishlah

Istishlah merupakan istilah lain yang digunakan oleh para ulama bagi mashlahah mursalah, selain daripadanya adalah al Munâsib al Mursal dan adapula istidlal al mursal[37]. Ketiga istilah itu bermuara pada satu permasalahan yaitu mashlahah. Mashlahah memiliki makna yang sama dngan manfaat dan arti dan wazannya. Ia merupakan mashdar yang bermakna al shilâh seperti lafadz manfa’at bermakna al naf’u. semua lafadz mashlahah mengandung makna manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses. Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ kepada hamba-Nya adalah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka[38]. Rahmat Syafei menjelaskan bahwa dari ketiga istilah itu meskipun tampak menuju kepada satu tujuan, akan tetapi memiliki tinjauan yang berbeda-beda. Mashlahah mursalah merupakan hal-hal yang tidak ada petunjuk dalam nash akan tetapi tidak bertentangan dengan syari’at dan memiliki nilai kebaikan. Al munâsib al mursal adalah sesuatu yang mengandung kesesuaian dengan tujuan syara’ namun tidak ditunjukan dengan dalil khusus, seperti penting membuat akte kelahiran sebagai sesuatu yang sesuai dengan tujuan syara untuk menjaga keturunan. Adapun istishlah adalah merupakan proses penggalian dan penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditunjukan oleh dalil yang khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara’.

Berdasarkan beberapa definisi yang didapat, maka dapat kita definisikan bahwa kaidah istishlah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan proses istishlah menggali dan menetapkan suatu kemashlahatan dalam rangka mencapai tujuan syara menjaga agama, jiwa, akala, keturunan dan harta.

Kaidah-kaidah istishlah memiliki lingkup dalam kaidah fiqhiyyah sebeagai suatu tatbiq al ahkam.

B. Identifikasi Kaidah Istishlah

Untuk mengidentifikasikan suatu kaidah itu adalah termasuk kepada kaidah istishlah dapat digunakan dua ukuran :

1. Mashlahah merupakan lawan dari pada mafasadat atau madharat. Oleh karena itu kaidah yang berbunyi : الضرور يزال “Kemadharatan itu mesti dihilangkan” merupakan kaidah istihslah dan setiap kaidah yang merupakan turunan darinya adalah kaidah istishlah. Seperti kaidah :

ا الضرورة تبيح المحظوراة

“Kemadharatan itu dapat membolehkan keharaman”

Ketika kita sedang berada dalam keadaan darurat (misalkan : dikawasan kutub utara dan kita harus meminum minuman beralkohol agar tidak meningal kedinginan), maka kaidah diatas dapat digunakan sebab pada dasarnya kaidah itu bertujuan dalam rangka menjaga jiwa (hifdz al nafs).

2. Setiap kaidah yang ditujukan dalam rangka mewujudkan suatu kemaslahatan, sesuai dengan tujuan syara, baik yang dharuri (memeliharan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), mapun yang hajji atau tahsini dapat dikategorikan kepada kaidah istihslah.

Contoh :

كل مال ضائع فقد مالكه يصىفه السلطان الى المصلحة

“Setiap harta yang hilang (harta karun) kemudian ditemukan maka ditasharufkan oleh shulton untuk kemashlahatan”.[39]

C. Metode perolehan kaidah istishlah

Kaidah istishlah diperoleh dengan menggali tujuan syara atau kaidah yang kemudian diturunkan baik secara deduktif maupun induktif.

Contoh :

Dalam bermuamalah syara’ menghendaki agar kita senantiasa dapat menjaga harta. Oleh karena itu setiap akad yang dilakukan dalam bermuamalah mesti senantiasa mashlahah agar harta tetap terpelihara dengan baik. Akad yang mashlahah adalah akad yang disertai dengan aturan-aturan yang jelas agar tidak terjadi gharar dan terdapat peluang untuk merugikan salah satu pihak. Dibuatlah serangkaian syarat untuk menjamin kemashlahatan suatu akad.

Atas hal itu ditetapkan suatu kaidah :

كل شرط كان من مصلحة العقد او من مقتصاه فهو واجب

“Setiap syarat dalam rangka menjaga kemashlahatan dan tujuan akad maka diperbolehkan”[40].

BAB IV

KESIMPULAN

Kaidah bahasa hukum merupakan istilah lain dari qawâid al lughah al ahkâm. Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatikan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlubnya maupun tarkibnya.. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan. Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi menjadi tiga, yaitu metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh. Metode mutakallimin adalah metode yang dilakukan secara deduktif, sednagkan metode Ahnaf (Hanafiyah) ditempuh melalui system penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah tersebut. Metode Ahnaf bercorak induktif. Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut.

Berdasarkan analisis hubungan kaidah dan mabda maka kaidah qiyas adalah kaidah-kaidah yang diperoleh dari hasil metode qiyas dan atau digunakan dalam metode qiyas. Kaidah-kaidah itu berkaitan dengan rukun-rukun qiyas dan unsur dari kaidah tersebut adalah rukun-rukun qiyas itu sendiri.

Kaidah istishlah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan proses istishlah menggali dan menetapkan suatu kemashlahatan dalam rangka mencapai tujuan syara menjaga agama, jiwa, akala, keturunan dan harta. Kaidah-kaidah istishlah memiliki lingkup dalam kaidah fiqhiyyah sebeagai suatu tatbiq al ahkam.

DAFTAR PUSTAKA

A, Djazuli dan I Nurol Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuliy, Dâr al Syrq, Mekkah, 1983.

Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al Barsan, Iskandar, 1989.

al Ghazali, Ihyâ’ ‘ulûm al dîn ma’a syarh al zubaidiy : (attihâf al sâdat al muttaqîn jilid 5, hal 545, sebagaimana dikutif oleh Ali al Nadzawi, Op.Cit., hal 60

Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawâid al fiqhiyyah, Dâr al Qalam, Damsyq, 2000.

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

Fatihi Ridwan, Min Falsafati al Tasyri Islami, Dâr al Kitab al Arabi, Kairo, 1969.

Hasbie Ash sidiqi, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.

Muhammad Said Ramadhan al Buthiy, Dhawabit al Maslahah Fî al Syarî’ati al Islâmiyyah, Muassasah al Risâlah, Beirut, 2001.

Muhlis Utsman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah, Rajawali Press, Jakarta, 2002.

Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Taj al Al Dîn ‘Abd al Wahab al Subki, al Asybah wa al nadzâhir, Juz I Markaz Buhuts al Ilmu, Mesir, tt.


[1] Muhlis Utsman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah,(Jakarta : Rajawali Press, 2002), hal 3.

[2] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 199), hal 251.

[3] Fatihi Ridwan, Min Falsafati al Tasyri Islami,(Kairo : Dâr al Kitab al Arabi, 1969), hal 171-172.

[4] Taj al Al Dîn ‘Abd al Wahab al Subki, al Asybah wa al nadzâhir, (Mesir : Markaz Buhuts al Ilmu, tt), juz I. Dikutip oleh Rahmat Syafei, ibid., hal 252.

[5] Hasbie Ash sidiqi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) II, hal 442.

[6] Rachmat Syafei, Op Cit., hal 253.

[7] Muhlis Usman, Op.Cit., hal 6

[8] Rahmat Syafei, Op.Cit., hal 147

[9] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) hal 179.

[10] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1999), hal 108.

[11] Yang dimaksud sholat disini adalah sholat lima waktu.

[12] أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ قَالَ أَنْبَأَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ الْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ صَلَاتُهُ فَإِنْ كَانَ أَكْمَلَهَا وَإِلَّا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ وُجِدَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَكْمِلُوا بِهِ

(al Nasai, 463)الْفَرِيضَةَ

[13] حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَتْرُكْ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ

مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

(Musnad Ahmad Ibn Hambal, 26098)

[14] Muchlis Utsman, Op.Cit, hal 16.

[15]Terdapat hadits yang menyatakan bahwa rasul mengakhirkan sholat Isya. Diriwayatkan oleh Muslim (1016) : كان رسول الله صاعم ييؤخر الصلاة العشاء الاخرة

[16] Nazar Bakry, Op.Cit, hal 175.

[17] Ini merupakan alasan Syafi’iyah sebagaimana dikutip oleh Muchlis Ustman, Op.Cit., hal 20.

[18] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuliy, (Mekkah : Dâr al Syrq, 1983), hal 452.

[19] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Iskandar : Al Barsan, 1989), hal 13.

[20] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 12

[21] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Op.Cit., hal. 456-462.

[22] Ibid.

[23] Abdul Wahab Khollaf, Op.Cit., hal 13-14.

[24] Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawâid al fiqhiyyah, (Damasyq : Dâr al Qalam), hal 112.

[25] Abdul Hamid Hakim, al Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, 1983), hal 5 sebagaimana dikutip oleh Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 13.

[26] Rachmat Syafei, Op.Cit., hal 147.

[27] A, Djazuli dan I Nurol Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal 121.

[28] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 21.

[29] ibid

[30] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 185.

[31] Ibid., hal 168.

[32] Ibid., hal 189.

[33] Ibid., hal 21.

[34] Q.S. al Maidah : 90.

[35] Q.S. al Isra : 32

[36] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 20.

[37] rahmat 118

[38] Muhammad Said Ramadhan al Buthiy, Dhawabit al Maslahah Fî al Syarî’ati al Islâmiyyah, (Beirut : Muassasah al Risâlah, 2001), hal 27.

[39] al Ghazali, Ihyâ’ ‘ulûm al dîn ma’a syarh al zubaidiy : (attihâf al sâdat al muttaqîn jilid 5, hal 545, sebagaimana dikutif oleh Ali al Nadzawi, Op.Cit., hal 60

[40] Ali al Nadhzawi, ibid., hal 114.

Tidak ada komentar: